Oleh: Dwi Agus Priono
Pendahuluan
Untuk memahami sikap yang diambil oleh orang-orang Islam terhadap kekristenan, maka kita perlu memulai dengan Muhammad dan Alquran. Memang sikap Islam dewasa ini tidak sekedar ‘menjiplak’ dan mengulang apa yang disampaikan dalam Alquran karena telah mengalami asimilasi dengan pemikiran teologi Islam yang berkembang, namun garis besar teologi mereka tellah termaktub dalam Alquran sejak awalnya.
Saat yang menentukan dalam kehidupan Muhammad adalah ketika ia mengakui Allah tidak hanya sebagai satu-satunya Pencipta, tetapi juga sebagai Hakim yang pada jaman akhir akan mengumpulkan semua orang untuk menghakimi perbuatan-perbuatan mereka. Allah-lah satu-satunya penguasa yang layak mendapatkan sembah dan puji dari manusia. Tidak ada ilah lain selain Allah.
Muhammad menyadari bahwa pahamnya itu terdapat juga dalam ajaran Yahudi dan Kristen. Pada jaman Muhammad, pemikiran Kristen sedang berkembang dan memperluas daerah pengaruhnya sampai ke Arab. Muhammad terpanggil membawa pemikiran ini di kalangan teman-temannya yang masih menyembah berhala. Sebagaimana Allah mengutus nabi-nabi kepada orang-orang yang tidak percaya dan menyuruh mereka mengabarkan agama-Nya (Din) kepada mereka itu, maka ia berpendapat bahwa ia diutus Allah untuk mengabarkan kebenaran di antara orang-orang Mekkah, yang kepada mereka belum pernah diutus seoraqng nabi pun.
Tetapi semakin besar jumlah jemaat yang mengikutinya, Muhammad terpaksa mengakui bahwa pertama-tama orang Yahudi dan kemudian juga orang Kristen tidak bersedia mengakui dirinya sebagai saudara seiman mereka. Orang Yahudi tidak mau mengakuinya sebagai nabi.
Pertentangan dari pihak Yahudi terutama karena alasan politis, sedangkan dari pihak Kristen adalah masalah dogmatis. Akibatnya, rasa permusuhan utama diarahkan kepada Yahudi dan bukan kepada Kristen. Simpati Muhammad semula lebih kepada orang Kristen daripada Yahudi. Ketika tahun-tahun pertama kenabiannya, saat Mekkah menjadi genting, maka sebagian jemaat Muhammad memutuskan untuk mengungsi ke Etiopia, yang merupakan negara Kristen.
Di sisi lain, pertemuan-pertemuan Muhammad dengan orang-orang Kristen mula-mula tampaknya bersifat ramah. Dikisahkan bahwa pada waktu Muhammad masih muda, ia diperintahkan oleh majikannya (yang akhirnya juga menjadi istrinya, Chadijah) untuk mengadakan pembicaraan tentang hal-hal yang berhubungan dengan kekristenan. Hal ini terbukti dari salah satu perintah Muhammad kepada pengikutnya supaya bersikap ramah, terutama kepada orang Kristen[1].
Perubahan Sikap
Sikap yang ramah dan bersahabat ini lambat laun berubah menjadi lebih dingin. Sebab utamanya adalah karena alasan-alasan dogmatis. Persoalan utama dari sikap ini adalah pribadi dan arti Yesus Kristus. Muhammad tidak dapat memahami mengapa orang-orang Kristen menyebut Yesus sebagai Tuhan dan Anak Allah[2]. Muhammad benar-benar yakin bahwa orang Kristen telah salah dengan mengatakan bahwa Yesus adalah Anak Allah, sesuatu yang menurut Muhammad tidak mungkin dan tidak pernah dikatakan oleh Yesus sendiri.
Namun harus ditegaskan bahwa Muhammad tidak pernah secara sungguh-sungguh mempelajari pengakuan iman Kristen terlebih dahulu dan kemudian menyanggahnya. Sebenarnya ia tidak memahami doktrin Kristen dan juga Trinitas dengan benar. Hal ini terlihat jelas seperti dalam polemik tentang Allah yang beranak[3]. Hal dogma kelihatannya tidak terlalu penting di mata Muhammad, tetapi justru praktek hidup dan sikap doa orang Kristenlah yang mendapat sorotannya. Hal ini disebabkan ia melihat orang-orang berdoa di dengan gambar dan patung Yesus. Dengan demikian, ia berpikir bahwa tidak ada bedanya dengan rekan-rekannya dahulu yang menyembah patung/berhala. Sanggahan penting lainnya adalah berkenaan dengan peristiwa penyaliban dan kematian Yesus.
Berkenaan dengan keberatan Islam terhadap Tritunggal, adalah tugas kita untuk menjelaskan bahwa sebutan Anak Allah tidaklah dimaksudkan secara jasmaniah atau dalam pengertian biologis.
Di samping semua keberatan yang dikemukakan, kita harus lebih teliti melihat bagaimana sebenarnya Muhammad memandang Yesus (dalam Alquran: Isa) dan Maryam. Terhadap keduanya, justru kita mendapati bahwa Muhammad (dan juga Alquran) menjunjung tinggi dan memberikan tempat khusus yang patut dicermati. Penyifatan sebagai ‘Isa ibn Maryam’ atau ‘al-Masih (Isa) ibn Maryam’ yang biasanya diberikan kepada Kristus itu memperlihatkan betapa tingginya penghargaan yang diberikan kepada Maria dan Yesus oleh orang Islam[4].
Kesimpulan
Setelah menelusuri perkembangan pemikiran Muhammad terhadap kekristenan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa situasi yang dihadapi oleh Muhammad sebenarnya adalah kekristenan yang kurang alkitabiah. Pada awal perjumpaan Muhammad dengan kekristenan, sebenarnya ia melihat kekristenan sebagai kebenaran. Namun pada perkembangan berikutnya, ia mendapati bahwa ada hal-hal yang menurutnya tidak benar telah dipraktekkan oleh orang Kristen (sekalipun itu tidak mewakili keseluruhan kekristenan yang benar).
Muhammad berjumpa dengan kekristenan yang menyimpang, yang merupakan sekte-sekte yang tidak mengikuti doktrin yang benar. Hal ini nampak dari kisah-kisah tentang Yesus yang justru tidak terdapat dalam Injil Kanonik, seperti perbuatan-perbuatan Yesus di masa anak-anak.
Kemudian kita juga mendapati bahwa Islam generasi berikutnya sampai sekarang cenderung memusuhi kekristenan dan menentang ajarannya. Hal ini dapat dimengerti karena pemahaman mereka tentng konteks pembicaraan dalam Alquran tidak dipahami dengan benar. Terbukti pada serangan mereka terhadap doktrin Tritunggal dan sebutan Anak Allah bagi Yesus.
Namun demikian, bagaimanapun mereka bersikap, tetap ada pelajaran yang baik untuk kita perhatikan. Pertama, kita harus mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan saudara-saudara kita umat Muslim tentang iman Kristen. Hal ini menuntut peningkatan kemampuan kita dalam berapologet. Kesediaan untuk memahami pola pikir mereka penting untuk dipertimbangkan.
Kepustakaan
Alqur’an & Terjemahannya, Departemen Agama Republik Indonesia , 2000
Azra, Azyumardi, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, Jakarta :Paramadina, 1999
Jonge, Christiaan, Sejarah Perjumpaan Gereja dan Islam, Jakarta : STT Jakarta, 1997
[1] Surah 5:82, yang berbunyi: (Dan demi Allah) sungguh engkau mendapati bahwa manusia yang paling dekat kasih sayangnya kepada para mukmin ialah mereka yang mengatakan bahwa kami ini adalah orang Nashara. Hal itu disebabkan karena sebagian dari mereka adalah para pendeta dan orang-orang yang membulatkan dirinya untuk agama (rahib); dan mereka ini tidak membesarkan diri.
[2] Surah 9:30 dst menyebutkan keberatan Muhammad terhadap penyebutan Yesus sebagai Anak Allah. Baginya, ini merupakan penyetaraan manusia dengan Allah yang esa, dan dengan demikian tidak dapat diterima.
[3] Mengenai hal ini, jelas sekali perbedaan antara keberatan Islam terhadap Tritunggal yang mengatakan bahwa Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan. Bahkan ketika mereka mengutarakan hal ini, dalam alam pikiran mereka, Tritunggal yang dimaksud adalah Allah, Maryam Maria), dan Yesus, bukan Allah Bapa, Anak (Yesus), dan Roh Kudus.
[4] Sebutan ini tertulis dalam surah 19:27. Dengan sebutan itu sendiri sebenarnya kita mendapati bahwa Muhammad mengakui kekhususan Isa sebagai yang lebihd ari sekedar nabi. Bahkan dalam Hadits Sahih Muslim, dikatakan bahwa Isa adalah yang terkemuka di dunia dan akhirat.
No comments:
Post a Comment