Saturday, December 11, 2010

Tafsir Praktika Injil Yohanes : Yesus Menurut Yesus

Yohanes 5:19-47                                                                                              
Menerima Firman
Kata “kristen” berarti orang yang mengikut Kristus. Bila kata ini kita sandang saat ini, itu berarti kita mengikuti sikap dan cara hidup Kristus. Hanya, cara kita mengikut Dia tergantung cara kita memandang siapa Dia. Maka, perspektif kita terhadap pribadi Yesus mempengaruhi cara hidup kita.
Dalam nats ini, Yesus menyatakan siapa diri-Nya, yaitu apa yang Ia ketahui dan lakukan dalam hidup-Nya.  Pertama, Ia Anak Allah (ay. 19). Anak hanya hanya dapat mengerjakan apa yang dikerjakan Bapa-Nya. Kebergantungan total kepada kehendak dan karya Allah menjadi bukti sa dari status-Nya sebagai Anak Allah. “Apa yang dikerjakan Bapa, itu juga yang dikerjakan Anak”. Semua pekerjaan Yesus adalah pekerjaan karena ketaatan kepada Bapa. Bila kita menyebut diri anak Allah, sudah sewajarnya kita mengerjakan pekerjaan-pekerjaan Bapa. Kedua, Ia memiliki kuasa untuk memberi hidup (ay.24-29). Perkataan Yesus adalah perkataan yang menghidupkan. Perkataan-Nya (yang sekarang berarti ‘firman Tuhan’) adalah firman kehidupan. Mereka yang mendengarkan dan menurutinya akan menerima hidup. Perkataan itu memberi dorongan untuk teguh, setia, bersemangat, dan menang dalam menjalani kehidupan. Bagaimana dengan perkataan-perkataan kita? Adakah telah memberikan kesegaran dan kehidupan bagi orang lain yang mendengarkannya? Amsal 12:25 mengatakan, “kekuatiran dalam hati membungkukkan orang, tetapi perkataan yang baik menggembirakan dia.” Sama seperti kata-kata Elisabet menguatkan Maria dalam kegalauannya, biarlah kata-kata kita membangun orang lain (cf. Luk 1:39-45). Ketiga, Pekerjaan-Nya adalah bukti siapa Dia (ay.36). Apa yang dilakukan Yesus, yaitu kuasa dan karya-Nya membuktikan siapa Dia. Kita dilihat dan diketahui dari apa yang kita ekspresikan ketika kita berelasi dengan orang lain.
Merenungkan Firman
Siapa Yesus menurut saudara? Yesus telah menyatakan diri-Nya secara terus terang. Siapa diri-Nya menurut Dia dan apa implikasinya telah disampaikan. Sekarang, apakah kita memandang Dia seperti apa yang dinyatakan-Nya?
Bila ya, apakah respon logis dari pemahaman kita tentang Dia telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari hidup kita?

Melakukan Kehendak Tuhan

Yohanes 4:31-38 
Menerima Firman
Kalau seseorang ditanya apakah makanan pokok bagi dia, jawabannya bisa bermacam-macam. Bisa nasi, jagung, sagu, roti, atau yang lainnya. Makanan pokok adalah makanan yang olehnya kita mendapatkan tenaga dan yang menyehatkan kita.
Suatu kali Yesus menyatakan sesuatu yang sangat tidak lazim bagi siapapun, termasuk murud-murid-Nya. Ia berkata, “…makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya.” (ay.34). Kalau makanan adalah hal terpenting bagi kesehatan tubuh, maka Yesus sedang menyatakan bahwa melakukan kehendak Allah adalah hal terpenting dalam kehidupan. Melakukan kehendak Allah adalah inti dari kehidupan. Bahkan Matius 7:21 menyatakan bahwa mereka yang melakukan kehendak Bapa sajalah yang masuk sorga!
Allah memiliki kehendak. Dalam hal ini, kehendak Allah yang dimaksud oleh Yesus adalah menyampaikan Kabar Baik dan memulihkan wanita Samaria yang Ia temui. KehendakNya adalah untuk kebaikan manusia (cf. Yer 29:11). Ia menghendaki manusia memuliakan Dia (cf. 1 Pet 2:9-10). Allah mengutus kita di dunia dengan suatu maksud, yaitu untuk menyampaikan Kabar Baik (Injil) kepada setiap orang.
Kehendak Allah haruslah dituruti, dilakukan, dan diselesaikan. Itulah misi Tuhan Yesus datang ke dunia. Kita, yang adalah anak-anak-Nya, kita juga harus melakukan kehendak Bapa di sorga. Inilah tanda dari anak-anak yang taat kepada Bapanya: mereka menuruti kehendak-Nya. Apakah makanan pokok kita?
Merenungkan Firman
Apakah kita menganggap bahwa melakukan kehendak Allah adalah suatu pilihan? Atau suatu keharusan? Atau suatu keniscayaan? Atau sebuah kehormatan? Masing-masing memiliki konsekwensi. Bila kita anggap suatu pilihan, mungkin suatu saat kita tidak memilihnya, melainkan memilih kehendak kita sendiri. Kalau suatu keharusan, mungkin kita melakukannya dengan terpaksa. Kalau suatu keniscayaan, kita tidak punya pilihan lain. Tetapi kalau sebuah kehormatan, kita akan melakukannya dengan sukacita.