Thursday, March 10, 2011

TAFSIR KITAB PENGKHOTBAH: PERGULATAN HIKMAT DALAM KITAB PENGKHOTBAH

Menelusuri Perkembangan Tradisi Hikmat dalam Kitab Pengkhotbah
Oleh: Romo V. Indra Sanjaya, Pr

Pendahuluan

Panitia Simposium Nasional ISBI tahun 2010 sepakat mengusung tema besar “Perkembangan Tradisi Hikmat dalam Alkitab.” Tema besar ini kemudian dijabarkan dalam 6 (enam) topik yang kalau diperhatikan sebenarnya mengikuti perkembangan kronologis. Kita akan berbicara mulai dari Kitab Amsal, yang dianggap menyimpan tradisi hikmat Israel yang tertua, sampai dengan surat-surat Paulus, dan diakhiri dengan perjumpaan tradisi Alkitabiah dengan kearifan lokal.
            Tema yang dipercayakan kepada penulis adalah tradisi hikmat dalam kitab Pengkhotbah. Sebenarnya Panitia menyodorkan dua kemungkinan pilihan, yaitu kitab Ayub atau kitab Pengkhotbah. Kitab Pengkhotbah akhirnya dipilih dengan sebuah pertimbangan pribadi belaka. Sesuai dengan tema besar yang diusung Panitia, paper ini penulis beri judul “Pergulatan Hikmat dalam Kitab Pengkhotbah. Menelesuri Perkembangan Tradisi Hikmat dalam Kitab Pengkhotbah.”
            Sebagaimana tercantum dalam judul panjang ini, paper ini berusaha melihat perkembangan tradisi hikmat sebagaimana terungkap dalam kitab Pengkhotbah. Akan tetapi, supaya pembahasan bisa menjadi lebih terpusat, perkembangan tradisi itu akan dilakukan dengan memperhatikan suatu topik tertentu.


***

Berbicara tentang perkembangan suatu tradisi – dalam hal ini tradisi hikmat dalam Alkitab – secara implisit mengandaikan adanya perubahan dari suatu bentuk sebelumnya ke bentuk berikutnya. Paling tidak ada 3 (tiga) hal yang disyaratkan supaya usaha ini bisa membuahkan hasil. Pertama,  jika kita mau berbicara tentang perkembangan tradisi hikmat sebagaimana tampak dalam kitab Pengkhotbah, mau tidak mau kita harus membandingkan suatu gagasan yang terdapat dalam kitab tersebut dengan gagasan yang ditemukan di dalam tulisan-tulisan hikmat yang lain. Kedua, untuk dapat menangkap perkembangan yang dimaksud, kita harus menempatkan tulisan-tulisan tersebut dalam suatu urutan kronologis tertentu. Dengan kata lain, terlebih dahulu kita sebenarnya mesti menentukan tulisan-tulisan mana yang menjadi pembanding gagasan hikmat yang terdapat dalam Kitab Pengkhotbah dan juga menentukan urutan kronologi munculnya tulisan-tulisan tersebut. Ketiga, gagasan-gagasan dari kedua tradisi mesti dianalisis secara mendetil. 
Akan tetapi, karena macam-macam keterbatasan, tidak semua hal tersebut bisa penulis lakukan. Oleh karena itu, penulis hanya akan memanfaatkan hasil penelitian atau kesepakatan relatif yang biasa diterima di kalangan para ahli. Sehubungan dengan hal ini, penulis mengambil posisi bahwa Kitab Amsal adalah tulisan yang menyimpan tradisi hikmat Israel yang lebih tua dari Kitab Pengkhotbah.[1] Dengan demikian, kita akan mencoba membandingkan bagaimana suatu topik tertentu direfleksikan dalam kitab Amsal dan kitab Pengkhotbah. Dalam menganalisis kedua tulisan itu, tekanan utama diletakkan pada kitab Pengkhotbah. Dengan kata lain, analisis atas kitab Amsal tidak akan dibuat amat mendetil. Hanya gagasan yang umum saja yang akan diambil. Dalam hal ini, semoga catatan tentang Kitab Amsal yang disampaikan oleh pemrasaran lain bisa membantu kita.

Waktu Penyusunan Kitab Pengkhotbah: Pertimbangan Linguistik

Seperti sudah dikatakan, untuk memahami perkembangan tradisi hikmat, perlulah kita membandingkan beberapa – dan setidaknya, dua – gagasan mengenai topik yang sama yang berasal dari periode yang berbeda. Sebagai titik berangkat kita sudah menentukan untuk mengambil Kitab Amsal yang dianggap menyimpan tradisi hikmat Israel yang paling tua. Langkah berikutnya adalah mencoba menelusuri saat penyusunan Kitab Pengkhotbah. Apakah memang benar bahwa Kitab Pengkhotbah berasal dari periode sesudah Kitab Amsal sehingga dengan membandingkan keduanya, kita bisa melihat perkembangan suatu gagasan tertentu.
Harus diakui, usaha untuk menentukan kapan suatu tulisan kuno ditulis merupakan suatu usaha yang amat sulit, untuk tidak mengatakan suatu usaha “menjaring angin.” Sekali lagi, di sinipun kita tidak akan memulai sesuatu yang sama sekali baru. Kita hanya tinggal memanfaatkan apa yang sudah menjadi konsensus yang kurang lebih diterima di kalangan para pakar biblika.
            Kitab ini memang diawali dengan sebuah penjelasan diri, “Inilah perkataan Pengkhotbah, anak Daud, raja di Yerusalem” (Pkh 1,1).[2] Secara tradisional, kitab ini memang dihubungkan dengan Salomo, anak Daud, yang memang dianggap raja yang paling bijak. Akan tetapi sekarang ini, hampir tidak ada ahli yang masih menganggap bahwa Kitab Pengkhotbah berasal dari zaman Salomo, apalagi ditulis oleh Salomo sendiri.
Sehubungan dengan hal ini menarik memperhatikan ungkapan Franz Delitzsch dalam komentarnya, yang kemudian berulang-ulang dikutip oleh para ahli sesudahnya, “If the Book of Koheleth were of old Solomonic origin, then there is no history of the Hebrew Language.”[3] Melalui ungkapan seperti ini, menjadi jelas bahwa Delitzch mengaitkan saat penyusunan atau penulisan Kitab Pengkhotbah ini dengan bahasa yang digunakan dalam kitab tersebut. Dengan kata lain, pertimbangan linguistik mengatakan bahwa Kitab Pengkhotbah tidak mungkin berasal dari zaman Salomo.[4] Memang diakui bahwa bahasa Ibrani yang dipakai di dalam Kitab Pengkhotbah berbeda dengan bahasa Ibrani klasik sebagaimana ditemukan di dalam teks-teks alkitab lain, seperti misalnya Pentateukh dan kitab-kitab sejarah. Sebagaimana para ahli mengamati, bahasa yang digunakan dalam Kitab Pengkhotbah adalah bahasa Ibrani yang lebih kemudian (Late Biblical Hebrew).[5]
Secara mencolok, bahasa Ibrani Kitab Pengkhotbah diwarnai oleh pengaruh bahasa Aram. Memang benar bahwa di dalam literatur Ibrani pra-pembuangan, pengaruh bahasa Aram juga bisa ditemukan di sana-sini. Tetapi hadirnya pengaruh bahasa Aram dengan frekwensi begitu tinggi seperti terdapat dalam Kitab Pengkhotbah, menjadi petunjuk kuat bahwa kitab ini berasal dari periode post-pembuangan ketika bahasa Aram menjadi bahasa sehari-hari.[6]
Yang juga mencolok adalah kehadiran dua kata yang dipinjam dari bahasa Persia, yaitu sDer>P; (2,5) yang diterjemahkan dengan ‘taman’ serta ~G"t.Pi (8,11) yang diterjemahkan dengan ‘hukuman.’[7] Kehadiran kedua kata pinjaman ini mempunyai makna istimewa. Di dalam Perjanjian Lama, kata-kata yang berasal muasal Persia tidak ditemukan dalam literatur sebelum 500 SM. Berdasarkan pertimbangan ini, bisa dikatakan bahwa Kitab Pengkhotbah berasal tidak lebih tua dari paruh kedua abad ke-5.[8]
Di antara manuskrip yang ditemukan di Qumran, terdapat juga dua fragmen dari Kitab Pengkhotbah (4QQoha,b )[9]. Diperkirakan fragmen itu ditulis antara tahun 175-150 SM. Data ini setidaknya menunjuk pada abad ke-2 SM sebagai terminus ante quem.[10]
Secara kumulatif, data-data yang ada membawa kita pada sebuah kesimpulan bahwa Kitab Pengkhotbah disusun antara abad ke-5 dan abad ke-2 SM. Secara umum, rentang waktu ini kiranya disetujui oleh para ahli. Tentu saja, para ahli berusaha untuk menentukan tanggal yang lebih persis dengan berdasarkan macam-macam argumentasi yang bisa mereka kemukakan. Kebanyakan ahli menempatkan penulisan kitab ini pada sekitar abad ke-3 SM.
Kita tidak akan masuk lebih jauh pada penelusuran soal ini.[11] Cukuplah bagi kita untuk menerima bahwa Kitab Pengkhotbah ditulis sekitar periode tersebut. Dengan demikian Kitab Pengkhotbah bisa digolongkan ke dalam tulisan-tulisan Perjanjian Lama yang terakhir. Jika dibandingkan dengan Kitab Amsal yang mau kita jadikan pembanding, rasanya cukup jelas bahwa Kitab Pengkhotbah ditulis sesudah Kitab Amsal. Kalau begitu maka usaha kita untuk memperbandingkan gagasan yang terdapat di dalam kedua kitab ini untuk melihat bagaimana perkembangan pemikiran mengenai satu topik tertentu rasanya bisa dipertanggungjawabkan. Inilah yang akan kita buat pada bagian berikutnya.

Tentang Kitab Pengkhotbah

Seusai orang membaca Kitab Pengkhotbah, orang segera akan menyadari bahwa kitab ini adalah sebuah karya yang benar-benar istimewa.[12] Tidak mengherankan jika para ahli mengajukan bermacam-macam sebutan untuk kitab luar biasa ini. Ada yang mengatakan bahwa Kitab Pengkhotbah adalah tulisan yang kontroversial; yang lain mengatakan kitab ini adalah kitab yang ambigu; sementara yang lain mengatakan bahwa tulisan ini adalah traktat filosofis terhebat yang pernah ada atau kitab yang paling aneh di dalam Alkitab, dan macam-macam lagi. Mengapa demikian? Apa sebenarnya yang membuat Kitab Pengkhotbah ini menangguk begitu banyak komentar dengan nada seperti itu? Tentu saja hal ini berkaitan dengan isi yang ditampilkan oleh Kitab Pengkhotbah. Isi yang bagaimana? Beberapa komentar para ahli mungkin baik untuk dikemukakan di sini:

“Qohelet has been widely hailed as an iconoclast, as in revolt against the wisdom tradition, despite the fact that he discusses wisdom motifs, uses wisdom genres, and speaks explicitly about wisdom at several points”[13]

Kitab Pengkhotbah adalah karya seorang penulis Ibrani yang merasa tidak nyaman dengan kebijaksanaan tradisional. Oleh karena itu, Pengkhotbah bukan kitab tentang Allah, melainkan tentang gagasan (ide).[14] Pandangan-pandangan yang termuat di dalamnya secara radikal berlawanan dengan pengajaran hikmat sebelumnya sebagaimana terungkap dalam Kitab Amsal.[15] Sementara von Rad merumuskan bahwa posisi Kitab Pengkhotbah berada “at the farthest frontier of Jahwism.”[16] Yang lain mengatakan bahwa “the only reason to maintain the book in the Biblical canon is that its negativity clarifies Scripture’s faith, because this book’s darkness shows how impossible life is without Scriptural faith.”[17]
Menilik beberapa komentar yang penulis cuplik di sini, kita bisa sedikit meraba-raba bahwa tampaknya kandungan isi Kitab Pengkhotbah begitu berbeda dari gagasan kebijaksanaan tradisional yang hidup pada waktu itu. Pada bagian ini, kita akan meneliti apa yang diajarkan Kitab Pengkhotbah dan berusaha memahaminya di dalam kerangka yang lebih luas, yaitu dalam rangka mengamati perkembangan tradisi hikmat di Israel waktu itu.

Kitab Pengkhotbah dan Sastra Hikmat: mengamati realitas

Gerhard von Rad, seorang ahli kitab terkenal berkebangsaan Jerman, membuka karyanya tentang sastra kebijaksanaan dengan menunjuk bahwa tak seorang pun bisa hidup dengan nyaman di dalam dunia ini, jika ia tidak dibimbing oleh aneka macam pengalaman praktis.[18] Pengalaman-pengalaman manusiawi yang didasarkan pada pengamatan atas gejala hidup sehari-hari ini kemudian, mengajarkan kepada manusia bagaimana ia bisa hidup dengan tenang dan damai. Tentu saja proses perjalanan dari pengalaman dan pengamatan sampai menjadi suatu rumusan linguistik merupakan perjalanan yang amat panjang dan memakan waktu.
            Demikianlah di dalam Kitab Pengkhotbah berulang kali kita temukan penegasan bahwa Qohelet (sebut saja demikian) mendasarkan pernyataannya pada pengamatan pribadinya. Kata kerja yang paling banyak dipakai dalam kitab ini adalah kata kerja har (melihat, mengalami, to see, to experience). Di dalam Kitab Pengkhotbah akar kata ini dipakai tidak kurang dari 47 kali.[19] Di antaranya, sekitar 26 kali kata ini dipakai dengan sang pengarang sendiri sebagai subjek, baik eksplisit maupun implisit.[20] Juga bisa dicatat bahwa penggunaan dua kata kerja lain, hyh (to be, to happen) dan hv[ (to do, to act), yang juga amat berlimpah menunjukkan bagaimana Pengkotbah mengambil pelajaran dari pengamatannya atas realitas – apa yang terjadi dan apa yang dibuat.
            Sebagaimana tradisi hikmat lainnya, demikian juga Pengkhotbah mendasarkan pengajarannya – walaupun tidak semua - pada pengalaman empiris yang dihidupinya sendiri. Ini menjadi menarik karena rupanya pengamatan dan pengalaman yang seorang berlainan dengan pengamatan dan pengalaman orang lain. Apa sebenarnya yang diamati oleh Kitab Pengkhotbah?

Titik Pengamatan Kitab Pengkhotbah

Pengkhotbah mengamati realitas hidup. Sebagaimana realitas ini begitu kompleks dan multi dimensi, maka demikian juga pengalaman dan pengamatan seseorang begitu kaya dan bervariasi. Pada bagian ini, tidak semua refleksi pengalaman Qohelet akan penulis tuangkan. Yang akan penulis tampilkan hanyalah beberapa pokok yang rasanya bisa menunjukkan perkembangan tradisi hikmat.

1.         Tentang Realitas

Pengamatan Qohelet atas realitas sekitarnya terungkap dalam beberapa teks berikut ini.

7:15 Dalam hidupku yang sia-sia (lb,h,) aku telah melihat segala hal ini:
                           ada orang saleh yang binasa dalam kesalehannya,
            ada orang fasik yang hidup lama dalam kejahatannya.

8:14 Ada suatu kesia-siaan (lb,h,) yang terjadi di atas bumi:
            ada orang-orang benar, yang menerima ganjaran yang layak untuk perbuatan orang fasik,
            dan ada orang-orang fasik yang menerima pahala yang layak untuk perbuatan orang benar.
Aku berkata: "Ini pun sia-sia! (lb,h,)"

Dari ungkapan seperti di atas, tampak bahwa rupanya ada hal-hal yang bertentangan dengan gambaran yang seharusnya terjadi menurut gagasan hikmat tradisional. Di dalam skema tradisional dikatakan bahwa seorang benar akan terbebas dari kematian; sementara orang fasik akan mati dengan segala pengharapan mereka

Harta benda yang diperoleh dengan kefasikan tidak berguna,
tetapi kebenaran menyelamatkan orang dari maut (Ams 10,2)

Pada hari kemurkaan harta tidak berguna,
tetapi kebenaran melepaskan orang dari maut (Ams 11,4)

Orang benar diselamatkan dari kesukaran,
lalu orang fasik menggantikannya (Ams 11,8)

Sungguh, orang jahat tidak akan luput dari hukuman,
tetapi keturunan orang benar akan diselamatkan (Ams 11,21)

Orang benar tidak akan ditimpa oleh bencana apa pun,
tetapi orang fasik akan senantiasa celaka (Ams 12,21)

Orang fasik dirobohkan karena kejahatannya,
tetapi orang benar mendapat perlindungan karena ketulusannya (Ams 14,32)

Pengharapan orang fasik gagal pada kematiannya,
dan harapan orang jahat menjadi sia-sia (Ams 11,7)

“Takut akan TUHAN memperpanjang umur,
tetapi tahun-tahun orang fasik diperpendek” (Ams 10,27)

Dalam Pkh 8,10 dikatakan bahwa “Aku melihat juga orang-orang fasik yang akan dikuburkan boleh masuk, sedangkan orang yang berlaku benar harus pergi dari tempat yang kudus dan dilupakan dalam kota. Ini pun sia-sia.”[21] Di dalam tradisi alkitabiah, hanya orang berdosa yang tidak mendapatkan penguburan yang layak (Ul 28,25-26; 1Raj 14,10-11; Yer 16,4).
            Qohelet mengamati bahwa skema yang diusung oleh tradisi kebijaksanaan kuno ternyata tidak selalu berjalan. Ada terlalu banyak pengalaman yang terjadi sehingga sulit jika ke-tidakjalan-an ini dianggap sebagai kekecualian. Bagi Qohelet, hal ini semua adalah sesuatu yang absurd (lb,h,).
            Di tempat lain pengamatan Qohelet menunjukkan bahwa:

Ada lagi yang kulihat di bawah matahari: di tempat pengadilan, di situ pun terdapat ketidakadilan, dan di tempat keadilan, di situ pun terdapat ketidakadilan (Pkh 3,16)

Lagi aku melihat segala penindasan yang terjadi di bawah matahari, dan lihatlah, air mata orang-orang yang ditindas dan tak ada yang menghibur mereka, karena di fihak orang-orang yang menindas ada kekuasaan (Pkh 4,1)

Kalau engkau melihat dalam suatu daerah orang miskin ditindas dan hukum serta keadilan diperkosa, janganlah heran akan perkara itu, karena pejabat tinggi yang satu mengawasi yang lain, begitu pula pejabat-pejabat yang lebih tinggi mengawasi mereka (Pkh 5,7)

Ketiga teks di atas menunjukkan terjadinya ketidak-adilan, bahkan juga di tempat di mana seharusnya keadilan dijunjung tinggi. Melalui teks-teks ini, juga kelihatan bahwa mekanisme hukum retribusi berdasarkan pertimbangan etik ternyata juga tidak berjalan sebagaimana yang digembar-gemborkan. Yang tertindas tetap tertindas.
            Rangkuman dari pengamatan Qohelet mungkin bisa ditemukan di dalam teks seperti ini:

9:11 Lagi aku melihat di bawah matahari bahwa
kemenangan perlombaan bukan untuk yang cepat,
dan keunggulan perjuangan bukan untuk yang kuat,
juga roti bukan untuk yang berhikmat,
kekayaan bukan untuk yang cerdas,
dan karunia bukan untuk yang cerdik cendekia,
karena waktu dan nasib dialami mereka semua.

Pengalaman Qohelet menunjukkan bahwa keyakinan tradisional yang seringkali dianggap berlaku otomatis ternyata tidak berlaku. Kepandaian bukan untuk orang yang rajin; kekayaan bukan untuk orang yang hemat.
            Mengapa pengamatan Qohelet ini menjadi persoalan? Jawabannya sebenarnya bisa ditemukan di dalam rangkaian teks-teks lain juga di dalam Kitab Pengkhotbah. Inilah yang akan kita lihat berikut ini.

2.         Tentang Hidup

Tema ini mungkin merupakan tema sentral dalam Kitab Pengkhotbah. Bahkan bisa dikatakan bahwa segala macam komentar orang tentang kitab ini berpangkal pada pemahaman dan pandangannya tentang hidup ini. 
            Jika kita membaca Kitab Pengkhotbah dengan teliti, kita menemukan suatu gagasan yang agak mengejutkan. Secara mencolok, gagasan itu terdapat dalam Pkh 2,11-16:

11 Ketika aku meneliti segala pekerjaan yang telah dilakukan tanganku dan segala usaha yang telah kulakukan untuk itu dengan jerih payah, lihatlah, segala sesuatu adalah kesia-siaan dan usaha menjaring angin; memang tak ada keuntungan di bawah matahari.
12 Lalu aku berpaling untuk meninjau hikmat, kebodohan dan kebebalan, sebab apa yang dapat dilakukan orang yang menggantikan raja? Hanya apa yang telah dilakukan orang.
13 Dan aku melihat bahwa hikmat melebihi kebodohan, seperti terang melebihi kegelapan.
14 Mata orang berhikmat ada di kepalanya, sedangkan orang yang bodoh berjalan dalam kegelapan, tetapi aku tahu juga bahwa nasib yang sama menimpa mereka semua.
15 Maka aku berkata dalam hati: "Nasib yang menimpa orang bodoh juga akan menimpa aku. Untuk apa aku ini dulu begitu berhikmat?" Lalu aku berkata dalam hati, bahwa ini pun sia-sia.
16 Karena tidak ada kenang-kenangan yang kekal baik dari orang yang berhikmat, maupun dari orang yang bodoh, sebab pada hari-hari yang akan datang kesemuanya sudah lama dilupakan. Dan, ah, orang yang berhikmat mati juga seperti orang yang bodoh!

 Secara sepintas orang bisa mengamati bahwa perikop ini tampaknya mau berbicara tentang hikmat dan kebodohan. Maksud Qohelet ini tercermin dalam ay. 12 “Lalu aku berpaling untuk meninjau.” Hal ini juga kelihatan jika kita mengamati bahwa dalam enam ayat ini, pasangan kata hikmat (~kx) dan kebodohan/bodoh (tWlk.si, lysiK.)  muncul sebanyak 6 kali. Lalu apa hasil pengamatan Qohelet?
            Pengamatannya bisa dibagi menjadi 2 bagian yang ternyata saling bertentangan, yaitu ay. 13-14a dan ay. 14b-15a. Pertama, dalam ay. 13-14a Qohelet mau menunjukkan apa yang ia lihat (ytiyair"w>). Menurut pandangannya, “hikmat melebihi kebodohan, seperti terang melebihi kegelapan.” Untuk memperkuat gagasannya, Qohelet tampaknya mengutip sebuah kata-kata bijak yang mungkin berlaku pada zamannya “Mata orang berhikmat ada di kepalanya, sedangkan orang bodoh berjalan dalam kegelapan.”
            Gagasan yang mengutamakan hikmat dibandingkan dengan kebodohan, hidup dan kematian, rasanya menjadi tema yang cukup populer dalam tradisi hikmat tradisional. Beberapa kali dikatakan dalam Kitab Amsal bahwa kebijaksanaan memberikan umur panjang (Ams 3,2.16; 4,10); sementara kebodohan memperpendek umur (Ams 10,27; 11,19). Dalam Ams 13,14 dengan jelas dikatakan bahwa “Ajaran orang bijak adalah sumber kehidupan, sehingga orang terhindar dari jerat-jerat maut.” Barangsiapa menemukan hikmat mendapatkan hidup dan Tuhan berkenan kepadanya (Ams 8,35).
Teks-teks di atas menunjukkan bagaimana tradisi hikmat menjunjung tinggi kebijaksanaan. Akan tetapi sekarang, keyakinan itu dihadapkan pada suatu realitas lain. Pengamatan Qohelet yang kedua ini diawali dengan rumus kontras kuat ynIa'-~g: yTi[.d:y"w> (Tetapi aku juga mengetahui). Waw dan gam perlu dipahami sebagai adversative. Sementara penggunaan kata ganti orang pertama tunggal ynIa' sebagai subjek perlu dipahami sebagai emphatic, yang mau menggarisbawahi pernyataan yang mengikutinya. Dengan rumus seperti ini, Qohelet mau menunjukkan suatu kenyataan lain yang memaksa orang memikirkan kembali gagasan hikmat tradisional sebagaimana terungkap dalam ay. 13-14a.
Kenyataan lain itu adalah kematian, yang merupakan nasib yang sama yang menimpa mereka semua (bdk. ay. 14b). Memang benar bahwa di sini, Qohelet tidak menggunakan kata ‘maut’ atau ‘kematian’. Yang dipakai adalah kata hr,q.mi yang diterjemahkan dengan kata ‘nasib.’ Kata ini sebenarnya mengandung makna “apa yang terjadi pada diri seseorang” tetapi secara khusus menunjuk pada ‘peristiwa’ yang tanpa bisa dihindari terjadi pada setiap manusia, yaitu kematian. Sebagaimana dicatat, di seluruh Alkitab kata ini muncul 10 kali. Tujuh kali di antaranya muncul dalam Kitab Pengkhotbah (2,14.15; 3,19 [3 x]; 9,2.3) dan selalu merujuk pada kematian.[22]
Perikop ini dengan jelas menghadapkan keyakinan tradisional yang diterima orang banyak, yaitu bahwa  hikmat atau orang berhikmat mengatasi atau lebih baik dari kebodohan atau orang bodoh, dengan sebuah kenyataan lain yang juga tak terelakkan, yaitu bahwa semua orang akan mati. Kematian adalah nasib terakhir yang mau tidak mau harus diterima oleh semua orang. Di hadapan kematian ini, baik orang berhikmat maupun orang bodoh ternyata sama saja.
Berhadapan dengan fakta seperti ini Qohelet menarik konsekwensi logis yang memang terasa aneh. “Untuk apa aku ini dulu begitu berhikmat?” Sungguh hal itu sesuatu yang sia-sia (lb,h,) (ay. 15). Kemudian ia melanjutkan bahwa baik bagi orang berhikmat maupun bagi orang bodoh tidak ada kenang-kenangan yang kekal. Sekali lagi ini seolah-olah adalah sebuah negasi atas kata-kata bijak terdahulu yang mengatakan “Kenangan kepada orang benar mendatangkan berkat, tetapi nama orang fasik menjadi busuk” (Ams 10,7). Di dalam alam pikir yang tidak mengenal hidup sesudah mati, kekekalan seseorang diperhitungkan pada keturunan atau kenangan dari yang bersangkutan. Tetapi hal ini ditolak oleh Qohelet. Dengan kata lain, kematian adalah sungguh-sungguh sebuah terminal paling akhir bagi perjalanan hidup manusia. Sesudah kematian, tidak ada sesuatu pun yang bisa diharapkan, bahkan juga kenangan.
Gagasan bahwa semua orang mengalami nasib yang sama, muncul lagi dalam bentuk lebih ekstrim dalam Pkh 3,19-20 yang teksnya adalah sebagai berikut:

19 Karena nasib (hr,q.mi) manusia adalah sama dengan nasib binatang, nasib yang sama menimpa mereka; sebagaimana yang satu mati, demikian juga yang lain. Kedua-duanya mempunyai nafas yang sama, dan manusia tak mempunyai kelebihan atas binatang, karena segala sesuatu adalah sia-sia (lb,h,).
20 Kedua-duanya menuju satu tempat; kedua-duanya terjadi dari debu dan kedua-duanya kembali kepada debu.

            Kali ini Qohelet mengatakan bahwa di hadapan sang hr,q.mi, bahkan manusia tidak berbeda dengan binatang. Manusia tidak mempunyai kelebihan dari binatang. Inipun sia-sia (lb,h,) (ay. 19). Rumusan bahwa baik manusia maupun binatang berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu menggemakan ajaran yang terdapat dalam Kej 3,19 bdk. juga Kej 2,7.
            Tema yang sama sekali lagi ditemukan dan diperluas dalam Pkh 9,2-3.

9:2 Segala sesuatu sama bagi sekalian; nasib (hr,q.mi) orang sama:
baik orang yang benar maupun orang yang fasik,
orang yang baik maupun orang yang jahat,
orang yang tahir maupun orang yang najis,
orang yang mempersembahkan korban maupun yang tidak mempersembahkan korban. Sebagaimana orang yang baik, begitu pula orang yang berdosa;
sebagaimana orang yang bersumpah, begitu pula orang yang takut untuk bersumpah.
9:3 Inilah yang celaka ([r") dalam segala sesuatu yang terjadi di bawah matahari; nasib (hr,q.mi) semua orang sama. Hati anak-anak manusia pun penuh dengan kejahatan, dan kebebalan ada dalam hati mereka seumur hidup, dan kemudian mereka menuju alam orang mati.

Keyakinan Qohelet bahwa semua orang akan menghadapi nasib (hr,q.mi) yang sama diulang lagi di sini dengan rumusan yang lebih canggih. Kemudian disebutkan enam pasang jenis manusia yang saling bertentangan. Dari sini tampak bahwa pertimbangan moral etik pun tidak berfungsi apa-apa. Orang benar (qyDIc;) dan orang fasik ([v'r'); orang baik (bAj) maupun jahat ([r) [23], semuanya mendapatkan nasib yang sama. Menurut Qohelet situasi ini, bahwa orang baik dan orang jahat mengalami nasib yang sama adalah “celaka ([r") dalam segala sesuatu yang terjadi di bawah matahari” (9,3). Letak kejahatannya bukan pada tindakan manusia, melainkan pada situasi yang sama yang akan menimpa seluruh umat manusia apa pun yang dilakukannya.
Demikianlah, dalam tiga kelompok teks yang baru saja kita lihat, secara meyakinkan Qohelet menunjukkan bahwa semua manusia, bahkan semua makhluk hidup, akan mengalami nasib yang sama, yaitu kematian. Sebenarnya fakta kematian tidak harus menjadi suatu masalah. Bagaimana pun kematian merupakan bagian dari kehidupan manusia. Tak ada orang yang mampu melarikan diri atau menghindar dari kematian. Dalam Pkh 8,8 Qohelet mengatakan, “Tiada seorang pun berkuasa menahan angin dan tiada seorang pun berkuasa atas hari kematian.” Akan tetapi, Qohelet tidak hanya berhenti itu. Menurut Qohelet, kematian sungguh-sungguh merupakan terminal terakhir kehidupan manusia. Sesudah kematian tidak ada apa-apa lagi, bahkan suatu kenangan pun tidak ada. Semua selesai. Dengan kata lain, gagasan tentang hidup sesudah mati apa pun bentuknya tidak (atau belum) merupakan bagian dari perbendaharaan ide Kitab Pengkhotbah. Inilah yang sebenarnya menjadi masalah besar karena kedatangan kematian memporak porandakan skema tertentu sebagaimana ditawarkan oleh keyakinan tradisional sebagaimana dikemukakan di atas. Hutang belum terbayar, si penghutang keburu mati. Lalu siapa yang bertanggungjawab?
Sebagaimana tampak dalam beberapa teks yang sudah kita lihat, ketidakberesan dalam bidang etik dan moral juga merupakan kenyataan yang juga dihadapi oleh Qohelet. Menurut beberapa ahli, periode penulisan Kitab Pengkhotbah merupakan periode bangkitnya aktivitas ekonomi yang dicirikan oleh meluasnya penggunaan uang.[24] Dengan demikian, bisa diperkirakan bahwa gambaran tentang ketidakberesan, seperti misalnya ketidakadilan, ada kaitannya dengan konteks ekonomi pada zaman itu. Seperti biasa, perkembangan ekonomi tidak selalu menghasilkan hasil yang sama bagi semua orang. Penyelewengan, penindasan, ketidakadilan bisa terjadi di mana-mana. Fakta bahwa Qohelet tidak menggunakan argumentasi hidup sesudah mati untuk menghimbau agar orang-orang menjalani hidup jujur dan secara moral bisa dipertanggungjawabkan, menunjukkan bahwa Qohelet tidak mengenal konsep tersebut.[25]

Perkembangan Tradisi Hikmat dalam kitab Pengkhotbah?

Memperhatikan beberapa gagasan yang didasarkan pada beberapa teks, rasanya kita bisa merasakan perkembangan tradisi hikmat sejauh terungkap di dalam Kitab Pengkhotbah. Sebagaimana bisa diamati, Kitab Pengkhotbah tetap berada pada koridor tradisi hikmat Israel. Titik perhatian dan metode pendekatannya juga tetap sama. Kitab Pengkhotbah berpusat pada hidup manusia yang ia renungkan berdasarkan pengalaman dan pengamatan pribadinya serta tentu saja tradisi hikmat yang tersedia sampai saat itu, terutama sejauh dirumuskan dalam Kitab Amsal.
            Dari pengalaman dan pengamatan pribadinya, Qohelet menunjukkan bahwa keyakinan tradisional yang secara mekanis memandang hidup dalam kerangka sebuah hubungan sebab-akibat, ternyata tidak selalu terjadi. Ada terlalu banyak kekecualian yang terjadi sehingga sulit untuk mempertahankan keyakinan tradisional tertentu, dalam hal ini hukum retribusi. Penghalang yang merusak total skema ini adalah kematian sebagai titik yang benar-benar merupakan akhir hidup manusia.
            Memang benar bahwa hikmat mempunyai keterbatasan.[26]  Rumusan linguistik sastra kebijaksanaan bagaimana pun juga didasarkan pada pengamatan dan pengalaman empiris. Oleh karena itu rumusan tersebut senantiasa bersifat provisoris, dalam arti bahwa hasil pengalaman dan pengamatan tidak pernah bersifat mutlak dan permanen.[27] Teks-teks seperti Ams 16,1.2.9; 19,21; 20,24; 21,30-31 menggarisbawahi ketidakpastian itu. Akan tetapi, karena gagasan tradisi kebijaksanaan ini berfungsi untuk mengajar – entah secara formal atau non formal – maka rasanya sulit jika kontingensi seperti ini diungkapkan kepada peserta didik sejak awal. Silakan membayangkan, jika kita mengubah kata-kata bijak yang lama, Rajin pangkal pandai; hemat pangkal kaya, menjadi Jadilah orang yang rajin/hemat, karena orang seperti ini biasanya menjadi pandai/kaya. Pengajaran semacam ini tentu tidak akan mencapai hasil yang minimal, karena proses pengajaran itu sudah dihambat oleh ketidakyakinan pendidiknya sendiri. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa keyakinan hikmat tradisional ini didorong sampai pada titik ekstrim positif, atau dengan kata lain, super optimisme. Dari bisa menjadi selalu.
            Dalam kerangka seperti kita bisa melihat perkembangan tradisi hikmat dalam Kitab Pengkhotbah. Qohelet menyadari bahwa ajaran tradisional ternyata tidak bisa berlaku untuk keseluruhan. Qohelet tidak lagi begitu optimis seperti misalnya kitab Amsal. Qohelet mau menjadi lebih realistis dengan mengungkapkan juga pengalaman kekecualian secara lebih seimbang. Kalau pendukung ajaran tradisional menyembunyikan sisi gelap ini dan sekaligus mendorong optimisme ke titik ekstrem; maka Qohelet mau mengangkap pengalaman gelap ini ke titik ekstrem yang lain, atau paling tidak sejajar dengan ajaran yang lebih positif. Akibatnya, tampak adanya kontras tajam antara ajaran hikmat tradisional dengan pengalaman konkret sehari-hari.
            Ketegangan ini tampaknya menimbulkan suatu cognitive dissonance bagi Qohelet. Ajakan Qohelet untuk menikmati hidup (carpe diem) yang seringkali dianggap sebagai salah satu tema pokok di dalam Kitab Pengkhotbah (2,24-25; 3,12-13.22;5,17-19; 8,15; 9,7-9; 11,8), bisa dipandang sebagai salah satu usaha untuk mengurangi dissonance itu. Akan tetapi, pemecahan ini hanya bisa dianggap sebagai sebuah pemecahan praktis. Ketika orang berpikir tentang kematian, ia diajak untuk menikmati hidup dan dengan demikian mengalihkan perhatiannya dari kematian. Ajakan untuk menikmati hidup sebenarnya hanyakah obat penenang belaka.[28] Qohelet baru sampai di sini.

Kesimpulan

Penelitian atas beberapa teks yang terdapat dalam Kitab Pengkhotbah menunjukkan bahwa Qohelet mulai tidak nyaman dengan ajaran hikmat tradisional. Hanya saja, dilihat dari perspektif kita sekarang, tampak bahwa tanggapan Qohelet masih belum memadai. Qohelet masih belum sampai pada gagasan tentang hidup sesudah mati yang sebenarnya bisa menjadi pemecahan bagi problem makna hidup yang dihadapi Qohelet. Bagi Qohelet, kematian masih dipahami sebagai suatu titik di mana kehidupan manusia secara total berakhir. Gagasan tentang hidup di akhirat baru muncul pada sekitar abad ke-2 SM (Dan 12,2-3; 2Mak 7,9.11.14.23; Keb 2-3).[29] Kalau seandainya Qohelet mengetahui adanya kemungkinan seperti itu, maka hampir bisa dipastikan bahwa pewartaan kitab Pengkhotbah akan berbeda dengan yang sekarang kita miliki. Dilanda oleh cognitive dissonance, tetapi tidak mempunyai gagasan hidup sesudah mati sebagai solusi, Qohelet hanya bisa mengatakan bahwa
lb,h' lKoh; ~ylib'h] lbeh] tl,h,qo rm;a' ~ylib'h] lbeh]. 





















Daftar Bacaan:

Bianchi, F., “The Language of Qohelet: A Bibliographical Survey”, ZAW 105 (1993) 210-223
Castellino, G. R., “Qohelet and His Wisdom”, CBQ 30 (1968) 15-28
Crenshaw, James L., Ecclesiastes (OTL: Westminster Press, Philadelphia 1987)
Good, Edwin M., Irony in the Old Testament (Westminster Press, Philadelphia 1965)
Gordis, R., Koheleth. The Man and His World (Schocken Books, New York 41978)
Keil, C.F. – F. Delitzch, Commentary on the Old Testament. Vol. 6. Proverbs, Ecclesiastes, Song of Solomon (Hendrickson, Peabody 2006)
Kreeft, Peter, Three Philosophies of Life (Ignatius Press, San Fransisco 1989)
Mazzinghi, Luca, Ho cercato e ho esplorato. Studi sul Qohelet (EDB, Bologna 2001)
Murphy, R. E., “Qohelet and Theology”, BTB 21 (1991) 30-33
Murphy, R. E., “Qohelet’s ‘Quarrel’ with the Fathers” dalam Dikran Y. Hadidian (ed), From Faith to Faith (The Pickwick Press, Pittsburgh 1979) 235-245
Murphy, R. E., Ecclesiastes (Word Books, Dallas 1992)
Neusner, J. – W.S. Green (ed.), Dictionary of Judaism in the Biblical Period (Hendrickson, Peabody 2002)
Schoors, A., “Qoheleth: The Ambiguity of Enjoyment”, Concilium 4 (2000) 35-41
Schoors, A., “Words Typical of Qohelet” dalam A. Schoors (ed.), Qohelet. The Context of Wisdom (Leuven University, Leuven 1998)
Segal, Alan F., Life After Death (Doubleday, New York 2004)
Seow, C.-L. “Theology When Everything is Out of Control”, Interpretation (Juli 2001) 237-249
Seow, C.-L.,  Ecclesiastes. A New Translation with Introduction and Commentary (Doubleday, New York 1997)
Seow, C.-L., “Linguistic Evidence and the Dating of Qohelet”, JBL 115 (1996) 643-666
Sibley Towner, W., “The Book of Ecclesiastes”, NIB V (Abingdon Press, Nashville 1997) 267-360
Singgih, E. G. Hidup di bawah Bayang-bayang Maut (BPK Gunung Mulia, Jakarta 2001)
van der Weiden, Wim, Seni Hidup (Kanisius, Jogjakarta 1995)
von Rad, Gerhard, Old Testament Theology. Vol. I (SCM Press, London 1975)
von Rad, Gerhard, Wisdom in Israel (Xpress Reprints, London 1997 asli 1972)









[1] Para ahli berpendapat bahwa kitab Amsal merupakan suatu kumpulan kata-kata bijak yang berasal dari rentang waktu yang cukup panjang. Beberapa bagian dari kitab Amsal, seperti Ams 10-22; 25-29, dianggap bagian yang paling tua, yaitu berasal zaman kerajaan awal. Tentu saja hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa tidak ada bagian dari Kitab Amsal yang berasal dari periode yang lebih kemudian.   
[2] Teks Alkitab diambil dari terbitan LAI kecuali ada keterangan yang berbeda.
[3] Komentar asli berasal dari tahun 1875; sementara versi yang penulis gunakan adalah versi terjemahan Inggris. C.F Keil – F. Delitzch, Commentary on the Old Testament. Vol. 6. Proverbs, Ecclesiastes, Song of Solomon (Hendrickson, Peabody 2006).
[4] Biasanya diterima bahwa seorang ahli Belanda, Hugo Grotius adalah orang pertama yang mengenali bahwa bahasa yang dipakai oleh Kitab Pengkhotbah tidak mungkin ditulis oleh Salomo.
[5] Secara garis besar, perkembangan bahasa Ibrani bisa dibagi dalam 3 (tiga) periode besar: (i) Bahasa Ibrani Kuno (Archaic Biblical Hebrew) (1100-1000 SM); (ii) Bahasa Ibrani Standard (Standard Biblical Hebrew) (1000-550 SM); (iii) Bahasa Ibrani Kemudian (Late Biblical Hebrew) (550-200 SM). Selain itu bahasa Ibrani yang dipakai di dalam Naskah Laut Mati atau Qumran, yang biasa disebut Qumran Hebrew (200-70 SM), bisa dianggap sebagai kelanjutan dari Late Biblical Hebrew. Lihat J. Neusner – W.S. Green (ed.), Dictionary of Judaism in the Biblical Period (Hendrickson, Peabody 2002) 280.
[6] C.-L. Seow, Ecclesiastes. A New Translation with Introduction and Commentary (Doubleday, New York 1997) 13.
[7] Crenshaw juga menganggap kata hn"ydIm. (2,8; 5,7) yang diterjemahkan dengan ‘daerah’ sebagai kata pinjaman dari bahasa Persia. James L. Crenshaw, Ecclesiastes (OTL: Westminster Press, Philadelphia 1987) 49. Akan tetapi, tampaknya kata ini lebih tepat dipahami sebagai kata pinjaman dari bahasa Aram sebagaimana dicatat oleh leksikon utama seperti BDB, HALOT, dll.
[8] C.-L. Seow, “Linguistic Evidence and the Dating of Qohelet”, JBL 115 (1996) 665.
[9] 4QQoha memuat Pkh 5,13-17; 6,1.3-8.12; 7,1-10.19-20; sementara 4QQohb memuat Pkh 1,10-16. Luca Mazzinghi, Ho cercato e ho esplorato. Studi sul Qohelet (EDB, Bologna 2001) 61.
[10] Seow, “Linguistic Evidence”, 643; C.-L. Seow, Ecclesiastes, 12; W. Sibley Towner, “The Book of Ecclesiastes”, NIB V (Abingdon Press, Nashville), 271; Roland E. Murphy, Ecclesiastes (Word Books, Dallas 1992) xxii. 
[11] Bagi yang ingin mendalami bisa dilihat misalnya, F. Bianchi, “The Language of Qohelet: A Bibliographical Survey”, ZAW 105 (1993) 210-223; Seow, “Linguistic Evidence” 643-646; Seow, Ecclesiastes, 11-21.
[12] Di dalam liturgi Gereja Katolik, hanya ada satu kutipan dari Kitab Pengkhotbah yang terdapat dalam Lectionarium, yaitu Pkh 1,2; 2,21-23 yang dibacakan sebagai bacaan I pada Minggu Biasa XVIII tahun C. 
[13] Roland E. Murphy, “Qohelet’s ‘Quarrel’ with the Fathers” dalam Dikran Y. Hadidian (ed), From Faith to Faith (The Pickwick Press, Pittsburgh 1979) 235.
[14] Sibley Towner, “The Book of Ecclesiastes”, 267.283.
[15] Crenshaw, Ecclesiastes, 23.
[16] Gerhard von Rad, Old Testament Theology. Vol. I (SCM Press, London 1975) 458.
[17] Demikian Aarre Lauha, sebagaimana dikutip oleh Edwin M. Good, Irony in the Old Testament (Westminster Press, Philadelphia 1965) 168. Lihat juga komentar senada dalam Peter Kreeft, Three Philosophies of Life (Ignatius Press, San Fransisco 1989) 19-20.
[18] Gerhard von Rad, Wisdom in Israel (Xpress Reprints, London 1997 asli 1972) 3.
[19] Dihitung dengan menggunakan konkordansi Abraham Even-Shoshan, A New Concordance of the Old Testament. Lihat juga Seow, Ecclesiastes, 121; A. Schoors, “Words Typical of Qohelet” dalam A. Scoors, Qohelet. The Context of Wisdom (Leuven University, Leuven 1998) 26-33.
[20] Pkh 1,14.16; 2,1.3.12.13.24; 3,10.16.22; 4,1.4.7.15; 5,12.17; 6,1; 7,15; 8,9.10.16.17; 9,11.13; 10,5.7. C. –L. Seow, “Theology When Everything is Out of Control”, Interpretation (Juli 2001) 239. Lihat juga G. R. Castellino, “Qohelet and His Wisdom”, CBQ 30 (1968) 16.
[21] Teks Ibrani tidak mudah diterjemahkan karena bisa diterjemahkan dalam beberapa kemungkinan. Lihat misalnya E. G. Singgih, Hidup di bawah Bayang-bayang Maut (BPK Gunung Mulia, Jakarta 2001) 152-154.
[22] Seow, Ecclesiastes, 135. Bisa ditambahkan juga bahwa sebagai kata kerja (hrq), akar kata ini juga muncul dalam 2,14.15; 9,11.
[23] Frase “yang jahat” ini tidak terdapat dalam MT, tetapi ditambahkan berdasarkan LXX (tw/| avgaqw/| kai. tw/| kakw/|) dan Vulgata (bono et malo).
[24] Lihat terutama C.-L. Seow, Ecclesiastes, 21-35.
[25] Alan F. Segal, Life After Death (Doubleday, New York 2004) 250.
[26] Murphy, “Qohelet’s ‘Quarrel’,” 236; Von Rad, Wisdom in Israel, 97-110.
[27] Bdk. Wim van der Weiden, Seni Hidup (Kanisius, Jogjakarta 1995) 18.
[28] A. Schoors, “Qoheleth: The Ambiguity of Enjoyment”, Concilium 4 (2000) 37.
[29] Uraian komprehensif tentang topik ini bisa dilihat misalnya, Alan F. Segal, Life After Death yang sudah disebut di atas. Khusus untuk Kitab Kebijaksanaan Salomo, analisis yang mendetil bahkan menunjukkan beberapa titik kontak tekstual antara Kitab Pengkhotbah dan Kitab Kebijaksanaan Salomo (lihat misalnya, Keb 2,2.6 menggemakan Pkh 3,19-20 serta ajakan Pkh untuk menikmati hidup atau Keb 3 tentang nasib manusia [orang benar dan orang fasik] yang seolah-olah menanggapi Pkh 9,1-3. Kitab Kebijaksanaan Salomo menanggapi problem pembalasan di bumi – yang dihadapi oleh Kitab Pengkhotbah dan Kitab Ayub - dengan memindahkannya ke ‘dunia mendatang.’

No comments:

Post a Comment