Saturday, November 20, 2010

Allah atau Yahweh

 NAMA ALLAH

“Akulah Allah Yang Mahakuasa [El Shadday], hiduplah di hadapan-Ku dengan tidak bercela.” (Kejadian 17:1b)
Nama El/Elohim/Eloah, adalah nama pertama Tuhan yang tercatat dalam kitab Kejadian sebelum nama ‘Yahweh’ diperkenalkan kepada Musa dalam masa Keluaran (Kel.6:1-2). El digunakan sebagai nama diri dan juga sebagai sebutan untuk Tuhan, dan sekalipun Elohim lebih banyak digunakan sebagai sebutan, kadang-kadang digunakan sebagai nama diri Tuhan yang bersifat jamak, Eloah adalah bentuk tunggal dari Elohim.

‘Il’ atau ‘El’ (baca Eel) adalah nama Tuhan rumpun Semitik (keturunan Sem). Bangsa Ibrani melalui jalur keturunan Sem – Arphaksad – Eber (dari nama ini disebut bangsa Ibrani) – Peleg – Abraham (melalui Sara) menyebut Il Semitik sebagai El/Elohim/Eloah, sedangkan melalui keturunan Sem – Aram – lahir bangsa Siria yang menyebutnya ‘Elah/Alaha’. Bangsa Arab adalah keturunan Aram – Yoktan (Anak Eber) – Hagar (selir Abraham) – Keturah (selir Abraham), menyebutnya dengan dialek mereka sebagai ‘Ilah/Allah.’ Kata sandang ‘Al’ dalam bahasa Arab diletakkan didepan, sedangkan kata sandang ‘Ha’ dalam bahasa Aram diletakkan di belakang, kata sandang ‘Ha’ Ibrani diletakkan di depan tetapi untuk nama Tuhan tidak umum ditulis.
Tidak dapat disangkal bahwa bangsa Ibrani, Aram, dan Arab masih berpangkal pada El/Alaha/Allah dari Abraham/Ibrahim yang sama, sebagai Tuhan pencipta langit dan bumi yang menciptakan Adam, memanggil Nuh dan kemudian memanggil Abraham/Ibrahim yang disebut sebagai Bapa Orang Beriman (atau Bapa Monotheisme) yang dalam jalur Arab secara turun-temurun oleh kaum Hanif dirayakan sebagai ‘Idul Adha.’ Sebagai imbas perceraian bahasa di Babel (Kej.11) dan situasi lingkungan yang berbeda, nama Tuhan yang sama disebut dengan dialek berbeda-beda namun masih dalam rumpun semitik (Tuhan Il/El Semitik berbeda dengan sesembahan lain seperti Brahman, Tao, atau Anatta yang dipopulerkan sebagai ‘Yang Satu’ dalam inklusifisme).
Namun, sekalipun ketiga agama Semitik Yahudi, Kristen dan Islam menyembah Tuhan ‘El/Allah’ yang sama, itu tidak berarti bahwa semua pengajaran/aqidah ketiganya sama. Pengajaran/aqidah berbeda karena kepercayaan ketiganya didasarkan tradisi dan kitab suci (yang dianggap masing-masing sebagai wahyu) berbeda mengenai ‘El/Allah’ yang sama itu.
Pada jalur Ibrani, sebutan ‘El’ pernah merosot ditujukan kepada berhala ‘Anak Lembu’ (Kel.32:4/1Raj.12:28/Neh.9:18), namun Musa dan para Nabi meluruskan kembali kepada ‘El’ Israel (El Elohe Yisrael, Kej.33:20;46:3). Orang-orang Arab yang percaya akan ‘Il/El’ Semitik/Ibrani dan juga yang menganut Kristen menyebutnya ‘Allah’ dalam dialeknya. Beberapa petunjuk penggunaan pada pra-Islam dapat dilihat bahwa sejak jauh sebelum masa Kristen sudah ada bagian kitab suci Tenakh dalam bahasa Aram (Sebagian kitab Ezra, Daniel, dan Yeremia ditulis dalam bahasa Aram, a.l. Dan.2:47;5:3 mengandung nama ‘Elah/Alaha’) dan sekalipun ada yang mengatakan bahwa dalam Tenakh kata ‘Alah’ artinya ‘sumpah’ (2Taw.6:22), dalam Tenakh kata ‘Alah’ (AlefLamedHe) juga diartikan ‘Alah’ Israel (Ezr.5:1;6:14). Terjemahan Peshitta (Alkitab bahasa Aram) ditulis pada abad-2–3M yang juga menggunakan nama ‘Elah/Alah dan Elaha/Alaha.’
Yesus tidak menggunakan bahasa Ibrani melainkan Yunani dan Aram, dan di atas kayu salib Ia memanggil Bapa dengan nama ‘El/Elo’ dalam bahasa Aram (Mat.27:46;Mrk.15:34). Di kalangan bangsa Arab pengikut Yesus, penggunaan nama ‘Allah’ sudah terjadi sejak awal kekristenan jauh sebelum masa jahiliah Arab dan kelahiran Islam. Pada Konsili Efesus (431) wilayah suku Arab Harits dipimpin uskup bernama ‘Abd Allah.’ Inskripsi Zabad (512) diawali ‘Bism al-Ilah’ (Dengan nama Allah) lengkap dengan tanda salib diikuti nama-nama Kristen, demikian juga Inskripsi ‘Umm al-Jimmal’ (abad-6) menyebut ‘Allahu ghafran’ (Allah yang mengampuni). Inskripsi ‘Hurran al-Lajja’ (568) dan inskripsi lain pra’Islam’ dari lingkungan Kristen menggunakan nama Allah pula.
Pada masa Islam lahir (abad-7), dalam Al-Quran nama ‘Allah’ diakui oleh Muhammad digunakan bersama baik oleh umat Islam, Yahudi, Nasrani dan Kristen, seperti dalam ayat:
"(Yaitu) orang2 yang diusir dari negerinya, tanpa kebenaran, melainkan karena mereka mengatakan: Tuhan kami Allah. Jikalau tiadalah pertahanan Allah terhadap manusia, sebagian mereka terhadap yang lain, niscaya robohlah gereja2 pendeta dan gereja2 Nasrani dan gereja2 Yahudi dan mesjid2, di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah menolong orang yang menolong (agama)Nya. Sungguh Allah Mahakuat lagi Mahaperkasa." (Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim, QS.22:40)
Dari kenyataan ini kita tahu bahwa nama ‘Allah’ bukanlah kata ‘Islam’ melainkan kata ‘Arab’ sebab sudah digunakan sejak keturunan Semitik suku Arab yang menyebut ‘El’ Semitik dalam dialek mereka, dan juga digunakan orang Arab yang beragama Yahudi dan Kristen jauh sebelum kehadiran masa jahiliah dan Islam. Ulil Absar Abdala dalam seminar LAI menyebut bahwa 70% isi Al-Quran berasal dari tradisi sebelumnya terutama tradisi agama Yahudi dan Kristen, ini berarti Islam menggunakan istilah Allah dari kedua sumber itu dan digabungkan dengan konsep ‘Allah’ nenek moyang mereka penganut agama Hanif yang mempercayai Allah Monotheisme Ibrahim.
Di negara-negara berbahasa Arab, saat ini ada empat Alkitab bahasa Arab dan keempatnya menggunakan nama ‘Allah’, dan penggunaan ‘nama Allah’ bersama-sama oleh umat Islam dan Kristen di negara-negara berbahasa Arab tidak pernah menjadi masalah sejak Islam lahir (abad-7). Di Kairo kota lama, ada gereja ‘Al-Mu’alaqqah’ dimana dipintunya ditulis kaligrafi Arab yang berbunyi ‘Allah Mahabah’ (Allah itu kasih), dan dipintu lainnya ‘Ra’isu al-Hikmata Makhaafatu Ilah’ (Permulaan Hikmat Adalah Takut kepada Allah), dan dari situ ada sinagoga ‘Ben Ezra’ dimana disebut bahwa dahulu di situ Rabbi ‘Moshe Ben Ma’imun’ menulis buku ‘Al-Mishnah’ dan ‘Dalilat el-Hairin’ dalam bahasa Ibrani dan Arab dimana ‘El/Elohim’ ditulis ‘Allah.’
Dalam jalur Arab yang percaya ajaran ‘Il/El’ Semitik ini tidak dapat disangkal bahwa mereka menyebut dalam dialek mereka sendiri sebagai ‘Allah’ terutama untuk menunjuk ‘Allah’ dari Adam, Sem (semitik), Yoktan (anak Eber, Ibranik), dan Ibrahim (Abrahamik).
"Gagasan tentang Tuhan Yang Esa yang disebut dengan Nama Allah, sudah dikenal oleh Bangsa Arab kuno ... Kelompok keagamaan lainnya sebelum Islam adalah hunafa' (tngl.hanif), sebuah kata yang pada asalnya ditujukan pada keyakinan monotheisme zaman kuno yang berpangkal pada ajaran Ibrahim dan Ismail”. (Glasse, Ensiklopedia Islam, h.50).
Sekalipun pada masa jahiliah pra-Islam dimana banyak berhala asing diimpor dan juga disebut sebagai Ilah/Allah, sejarah menunjukkan bahwa sudah sejak masa Abraham di kalangan suku Arab ada penganut agama Hanif yang mempercayai ‘Allah Ibrahim’ (ini dikenang terus menerus melalui tradisi sunat dan Idul Adha) terutama suku-suku Ibrahimiyah dan Ismaeliyah yang tidak menganut agama Israel maupun Kristen. Iman Ibrahim ini tetap terjaga ditengah kemerosotan agama masa jahiliah dan kemudian diteguhkan kembali oleh Islam.
Agama Islam dibawa ke Indonesia oleh orang Sufi yang berbaur dengan pribumi sejak abad-13, dan baru pada abad-16 agama Kristen masuk. Setelah 4 abad banyak kata Arab terserap ke dalam bahasa Melayu dan kemudian Indonesia (Menurut ‘Kamus Besar Bahasa Indonesia,’ sekarang ada 1495 kata Arab menjadi kosakata bahasa Indonesia termasuk kata Allah). Sejak Kitab Injil pertama dalam bahasa Melayu karya Corneliz van Ruyl (1629) sudah digunakan nama ‘Allah’ untuk menyebut ‘El’ PL dan ‘Theos’ PB. Corneliz tahu bahwa di negara berbahasa Arab nama Allah digunakan baik oleh orang Kristen maupun Islam, dan karena nama Allah sudah diadopsi ke dalam bahasa Melayu dan kemudian Indonesia, maka penggunaan nama itu dalam terjemahan Alkitab justru tepat, karena bukan merupakan terjemahan nama ‘El’ melainkan hanya dialek yang berbeda dari nama yang sama.
Robert Morey dalam buku ‘Islamic Invasion, confronting the world’s fastest religion’ (1992) menyebut nama Allah adalah nama dewa bulan bangsa Babil. Bukunya memuat Appendix ‘Moon God’ dan menyebut bahwa bangsa Arab menyembah dewa bulan ini, sebagai buktinya ditunjukkan gambar bulan sabit diatas kubah mesjid (h.50,51,218). Ia menyebut Alkitab Arab ditulis pada abad-9 dan umat Kristen dipaksa penguasa Islam menulis nama ‘Allah’ dalam Alkitab Arab (h.64). Sayang, Morey kurang terbuka wawasannya tentang sejarah penggunaan nama ‘Allah’ sebelum masa Islam di kalangan orang Siria dan Arab, baik yang beragama Yahudi, maupun Kristen, dan juga penggunaannya dikalangan Arab Hanif pra-Islam, dan mungkin karena fobia akan Islam ia mengabaikan fakta bahwa dalam Al-Quran, Muhamad mengaku bahwa nama ‘Allah’ dipakai bersama dengan umat Yahudi, Nasrani, dan Kristen (QS.22:40), tentu mereka menggunakannya lebih dahulu.
Mengenai ‘moon god’ yang banyak gambar inskripsinya dalam buku Morey (h.211-218), tidak jelas apa hubungannya dengan nama ‘Allah’ karena disitu namanya tidak disebut Allah. Pada masa kemerosotan jahiliah sebelum hadir Islam, di kawasan Arab (kecuali kaum Hanif) memang terjadi adopsi berhala-berhala asing dimana ‘moon god’ disembah sebagai ‘hubal’ yang diimpor dari Siria. Bukan hanya dewa bulan hubal tetapi pada masa jahiliah berhala lain juga disebut Allah, seperti dewa air, dewa kesuburan, Al-Atta, Al-Uzza, dll. Menuduh bulan sabit sebagai bukti penyembahan dewa bulan jelas keliru, sebab lambang itu baru muncul di Turki 800 tahunnsetelah islam lahir pada abad-15 oleh penguasa Otoman yang mengadopsinya dari Byzantium, karena disana bulan sabit merupakan tanda kemenangan karena kemunculannya yang tiba-tiba menyelamatkan Byzantium dari serangan mendadak musuh di malam gelap. Bagi Islam, bulan sabit (hilal) adalah petunjuk ritme waktu. Muhamad mengatakan:
“Wahai bulan sabit yang indah dan bulan sabit petunjuk, keyakinanku teguh kepada Dia yang telah menciptakanmu.” (Glasse, Ensiklopedia Islam, h.64).
Dari para pemuja nama Yahweh juga sering diajukan kutipan yang menyebut bahwa nama ‘Allah’ adalah nama berhala bulan/air. Kita perlu mengajak mereka agar membaca dengan benar kutipan tersebut, sebab mereka mencomot kutipan itu dari konteks ceritanya. Bila kita mempelajari konteks bacaan sekitar kutipan tersebut kita akan mengetahui bahwa penulis menyebut bahwa pada masa jahiliah nama Allah merosot ditujukan kepada berhala yang diimpor dari negeri sekeliling, namun dalam konteksnya jelas pula bahwa kemudian Islam mengembalikan kemerosotan itu kembali kepada agama hanif yang tetap mempertahankan iman agama Ibrahim. Tidak ada ayat dalam Al-Quran yang menyebut nama ‘Allah’ asalnya nama berhala bulan, air atau lainnya. Mengkait-kaitkan berhala moon god Babel kuno dengan nama ‘Allah,’ sama halnya dengan kalau mengkaitkan berhala ‘anak lembu’ yang banyak dijumpai dalam inskripsi peninggalan Babel, Kanaan, dan Mesir kuno dengan nama ‘Elohim’ dan ‘Yahweh’ (Kel.32:4/1Raj.12:28/Neh.9:18).
Para pemuja nama ‘Yahweh’ mengidap ‘Yudaisme mania’ dan ‘Arab/Islam fobia’ dan menuduh bahwa nama ‘Allah’ adalah nama berhala bulan dan baik umat Islam maupun Kristen disebut menghujat Tuhan bila menyebut nama ‘Allah.’ Beberapa hal sebaiknya direnungkan oleh mereka:
1. Di negara-negara berbahasa Arab penggunaan nama ‘Allah’ selama 15 abad untuk menyebut Tuhan Semitik secara bersama tidak pernah menjadi masalah, dan selama empat abad penggunaan bersama nama itu di Indonesia juga tidak menimbulkan masalah. Adanya fanatisme penggunaan nama ‘Allah’ di kalangan Islam tertentu dan fanatisme nama ‘Yahweh’ (yang anti Allah) di kalangan Kristen-Yudaik baru terjadi belakangan ini yang isu-nya justru dikobarkan oleh para pemuja nama Yahweh itu;
2. Orang Arab beragama Yahudi dan Kristen sudah lebih dari 20 abad menyebut ‘El’ sebagai ‘Allah’ dalam dialek mereka, selama 4 abad umat Kristen di Indonesia sudah menggunakan nama ‘Allah’ pula, penerjemahan nama ‘El’ dan ‘Yahweh’ sudah terjadi sejak zaman Ezra (ke bahasa Aram). Tenakh diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani (Septuaginta) dan Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani (Koine), maka adalah sifat bidat (yang sempit) kalau beranggapan bahwa jutaan orang Arab Kristen selama dua milenium dan puluhan juta umat Kristen Indonesia selama empat abad tidak selamat dan menghujat Tuhan karena mereka menyebut nama ‘Allah’;
3. Dengan menuduh orang Islam dan Kristen yang menggunakan nama ‘Allah’ sebagai ‘menghujat’, bukankah fakta sejarah telah menunjukkan bahwa label tuduhan itu justru seharusnya tertuju pada mereka sendiri karena menganggap Allah sebagai dewa bulan? Menyebut nama ‘Allah’ dialek Arab sebagai ‘dewa bulan’ merupakan ‘fitnah’ karena didasarkan sentimen Yudaisme dan kekurang-tahuan, dan kutipan sepotong yang dicomot di luar konteks. Dapat dimaklumi kalau hal itu mendatangkan amarah kalangan Islam;
4. Dengan menekankan semangat ke akar Yahudi, tidakkah mereka sadar bahwa mereka telah terpedaya mengemban misi Yudaisme yang sarat semangat anti Arab, Islam dan Kristen? (Umumnya pemuja nama Yahweh menganut faham Modalisme). Semangat mana meresahkan umat beragama dan memicu kekurang-rukunan beragama di Indonesia;
5. Perlu direnungkan ‘roh’ apa yang berada di dalam diri para pemuja nama ‘Yahweh’ yang anti nama ‘Allah’ itu, mengingat bahwa di satu sisi mereka sangat menekankan kekudusan nama Yahweh namun di sisi lain mereka begitu saja membajak karya terjemahan LAI (yang dikritiknya) dan memaksa mengganti nama-nama di dalamnya menjadi nama Ibrani. Bila umat Kristen mengemban misi memberitakan kabar sukacita Injil Kristus yang mendamaikan manusia dengan Allah Bapa, para pemuja nama Yahweh itu menaburkan fanatisme nama Yahweh dan menjalankan misi Yudaisme yang bersifat adu domba dan fitnah..
Akhirnya, umat Kristen perlu mendoakan para pemuja nama Yahweh itu agar mereka mau belajar dan mengerti kebenaran sejarah, dan tidak terjebak fanatisme sempit karena kekurang tahuan, dan agar Roh Kudus sendiri menerangi dan menaungi mereka dengan kebenaran Allah
Di ambil dari Redaksi www.yabina.org

1 comment:

  1. Sebenarnya sudah dimengerti tentang kebenaran biblika. Tapi apa gunanya dijelaskan kalau memang sengaja berbohong dengan menyembunyikan kebenaran, bahkan membuat buku mirip Alkitab, tapi sudah dipreteli bagian dalam Injil Yohanes 17:6,11 dan 12.Bagian itu dihapus, dibuang karena menyebabkan kebohongan-kebohongan terungkap bahwa nama Bapa diberikan kepada Sang Putera.

    ReplyDelete