Tuesday, March 1, 2011

Film Shadow Play Dan POSISI KEBANGSAAN INDONESIA (SEBUAH REFLEKSI)

Pendahuluan
Peristiwa tragis 30 September 1965 pasti tidak dapat dilupakan oleh bangsa Indonesia. Betapa tidak, pada malam itu telah terjadi pembunuhan terhadap beberapa jendral yang memiliki pengaruh besar dalam perjalanan bangsa Indonesia. Setelah peristiwa tersebut dan selanjutnya, pengalaman pahit tidak pernah dapat terlupakan. Terutama pada para anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan semua orang yang dianggap berafiliasi dengan PKI.
Tetapi apakah sebenarnya yang terjadi? Benarkah PKI berada di balik semua kejadian tersebut? Benarkah seperti apa yang selalu didengungkan oleh Soeharto dengan rejim Orde Baru-nya? Sebuah peristiwa dengan trauma mendalam yang tidak mungkin dihilangkan dari memori bangsa Indonesia telah terjadi. Tetapi, menyitir pernyataan seorang filsuf, kebenaran tetaplah kebenaran, betapapun kebenaran itu disembunyikan.


Sebuah Kebenaran Diungkap
Film documenter Shadow Play, menunjukkan pada penikmat film bagaimana perjalanan politik di Indonesia. Para pemain politik menggunakan media, memutarbalikkan fakta, memotong berita yang sebenarnya, melakukan penghalusan kata. Banyak fakta dibungkam, suara kebenaran dimanipulasi, sehingga segala sesuatu “kelihatan baik-baik”. Sekalipun terdapat banyak korban ditangkap, dan dipenjarakan dengan tuduhan yang tanpa bukti, tanpa diadili, dan bahkan ditangkap tanpa surat penangkapan.
Film yang garis besarnya membuka kebekuan kisah pembantaian jutaan orang di Indonesia puluhan tahun silam, setelah tragedi Gerakan 30 September 1965 (G30/S) ini, berbicara mulai dari bagaimana prisip Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia pada waktu, berkenaan dengan perang dingin yang dilakukan oleh dua Negara besar dunia.
Presiden Soekarno memiliki keinginan untuk menyatukan multipluralitas yang ada di Indonesia. Soekarno menerima semua ideologi yang ada di Indonesia (Nasionalisme, Islamisme, Komunisme) selama mereka (partai-partai) tidak menimbulkan masalah dan kerusakan di Negeri Indonesia. Demikian juga sikap Soekarno ini diterapkan dalam politik luar negerinya untuk tidak memihak kepada salah satu blok negara yang sedang melancarkan perang dingin (Blok Timur dan Barat).
Namun ambisi Indonesia tersebut harus berhadapan dengan kondisi politik dunia. Bagi kedua blok berseteru tersebut, menurutnya Indonesia harus menentukan sikap. Namun waktu itu Indonesia menentukan sikap non-blok. Tanpa memilih salah satu blok. Amerika sepertinya negara yang paling kurang puas dengan pilihan Indonesia tersebut, meskipun selesai pidato Soekarno dalam Kongres Amerika, Indonesia menyatakan keinginannya untuk menjalin hubungan baik dengan Amerika. Apalagi setelah kunjungan Presiden Soekarno ke Cina dan Uni Soviet, tiga bulan setelah kunjungannya dari Kongres Amerika. Hal tersebut dipandang oleh Amerika dan sekutunya, bahwa Soekarno adalah rekan yang membahayakan. Karena Soekarno dianggap telah menyebarang ke Komunis. Sejak saat itu Indonesia dipandang sekutu yang membahayakan bagi Blok Barat.
Sejak saat itu Amerika dan sekutunya berusaha untuk menggulingkan Soekarno dari kursi pemerintahannya. Berbagai cara dilakukan. Mulai dengan mensponsori pemberontakan yang dilakukan oleh pergerakan-pergerakan di Indonesia, salah satunya di Sumatera. Dan melalui pidatonya dalam sidang PBB, Soekarno mengecam negara-negara imperialis dan kolonialis Barat yang terlalu mencampuri negara-negara ketiga, termasuk Indonesia. Soekarno lebih tersinggung lagi dengan sikap Inggris yang membangun sebuah negara bentukan baru di perbatasan Malaysia-Indonesia tanpa mengikut sertakan Indonesia dalam perundingan. Sehingga Soekarno menyerukan jargon “Ganyang Malaysia” atas sikap yang dipandangnya arogan tersebut.
Melihat hal tersebut Inggris tidak tinggal diam, Inggris mengirimkan ahli propagandanya Norman Reddaway ke Singapore, untuk memimpin perang propaganda guna meruntuhkan Soekarno. Di sini terlihat bagaimana propaganda atau media komunikasi sangat berperan dalam politik. Tak segan-segan negara kapitalis Inggris mengucurkan dana besar guna membiayai perang propaganda tersebut. CIA melancarkan tuduhan-tuduhan miring untuk menggulingkan Soekarno, mulai dari memproduksi film-film porno Soekarno, pemotongan berita-berita yang mengesankan tentang Soekarno, dll.
Kondisi-kondisi yang memojokkan Soekarno tersebut membuatnya semakin geram terhadap negara kapitalis imperialis. Soekarno yang memang telah dekat dengan komunis, semakin membuatnya lebih dekat dengan komunis dalam partai komunisnya. Dan Soekarno pun menentukan sikapnya untuk keluar dari PBB dan menyatakan akan mendekatkan diri dengan Peking dan Hanoi. Protes Soekarno tersebut membuat negara-negara sekutu semakin geram terhadap Soekarno, sehingga Negara-negara Barat (dengan CIA-nya) semakin gencar memikirkan cara untuk menurunkan Soekarno dari tahtanya.
CIA pun mendekati Angkatan Darat Indonesia untuk dapat melancarkan niatnya menurunkan Soekarno dari tahtanya. CIA menggunakan memorial lama bangsa Indonesia tentang percobaan kudeta partai komunis yang pernah gagal dilancarkan, untuk meruntuhkan partai komunis dari Indonesia dan mungkin sekaligus Soekarno yang telah sangat dekat dengan partai komunis.
Sehingga tragedi yang dikenal G30/S terjadi dengan begitu dramatis. Tragedi yang menewaskan enam jendral tinggi Indonesia pada waktu itu terjadi dengan begitu bersih, dan disempurnakan dengan propaganda-propaganda, isu-isu kemudian di media melalui radio, selebaran-selebaran, pembuatan film yang mendramatisir tragedi G30/S tentunya dengan fakta-fakta yang tidak jelas, dll. Dan dipercantik dengan membungkam orang-orang yang dianggap terkait di dalamnya tanpa surat penangkapan, dengan tuduhan-tuduhan yang diada-adakan, pembantaian besar-besaran pun terjadi untuk memuluskan politik praktis yang dilancarkan.
Dan pembungkaman tersebut dilakukan terus-menerus oleh Orde Baru yang muncul kemudian setelah Soekarno diturunkan dari tahtanya. Hal tersebut sepertinya untuk mengamankan posisinya, supaya lebih aman. Kesaksian-kesaksian dari para korban dibungkam, kehidupannya dan keturunannya terancam. Dalam film ini juga diberitahukan korban pembantaian dari tragedi tersebut tidak kurang tiga juta jiwa penduduk Indonesia yang belum tentu semuanya bersalah.

Di Antara Dua Gajah
Posisi Indonesia mungkin agak serupa dengan petikan sebuah pepatah ‘berada di antara dua gajah yang sedang bertarung’. Memang kita tidak boleh merasa sebagai ‘semut’ yang pasti lemah dan terinjak-injak. Namun pilihan Soekarno untuk tumbuh menjadi ‘gajah baru’ di Asia Tenggara harus dicermati secara seksama.
Sebagai sebuah pilihan politik, mensponsori Gerakan Non-Blok merupakan sebuah langkah berani. Bahwa kemudian pengaruh Barat lebih menonjol dalam percaturan politik Indonesia, itu adalah hal lain. Indonesia memang harus menentukan sikapnya. Dan sesuai dengan cita-cita untuk mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, maka tidak ada pilihan lain kecuali berdiri di atas kaki sendiri (berdikari) dan tidak ‘menghamba’ kepada salah satu blok.
Namun demikian, ada catatan kritis yang mungkin telah diperhitungkan, hanya tidak dapat ditangani dengan baik. Catatan itu adalah tentang belum terhayatinya kebersamaan dalam kesatuan cita-cita. Maka perbedaan-perbedaan antara faksi-faksi yang ada (Nasionalis, Islam, dan Komunis) dengan mudah dimanfaatkan oleh Barat untuk melemahkan, bahkan menghancurkan cita-cita tersebut. Peran CIA dalam proses penggulingan kekuasaan Sukarno membuktikan hal tersebut.

Penutup
Dari film tersebut memberitahukan betapa ngerinya kekuasaan. Dengan kekuasaan, kedaulatan pemimpin membuatnya sangat dekat dengan kesewenang-wenangan. Pemutar-balikan fakta dan manipulasi sejarah bisa saja dilakukan. Demi sebuah kekekalan kekuasaan. Kekuasaan yang seharusnya dimaknai sebuah mandat untuk melayani massa rakyat, namun dengan kekuasaan pula dapat membuat orang melayani diri atau golongan.
Media propaganda sangat berperan dalam pembentukan masyarakat, dan sejarah. Bagaimana propaganda juga dapat meruntuhkan dan mengukuhkan kekuasaan. Masyarakat tidak diberi waktu untuk berpikir karena terus dicekoki dengan propaganda-propaganda, dan diintimidasi dengan kekuatan militer penguasa.
Maka, ‘pekerjaan rumah’ yang harus diselesaikan bangsa Indonesia adalah membangun kesepahaman tentang moralitas bangsa, apa yang secara bersama kita cita-citakan. Bila tidak, maka dengan mudah kepentingan kelompok dalam bangsa akan ditunggangi oleh kepentingan internasional.

1 comment:

  1. Ingat siapa yang buat Shadow play dia juga punya agenda agenda agenda waspadalah waspadalah

    ReplyDelete